Alkisah, ada sepasang kekasih yang saling mencintai. Sang pria
berasal dari keluarga kaya, dan merupakan orang yang terpandang di kota
tersebut. Sedangkan sang wanita adalah seorang yatim piatu, hidup serba
kekurangan, tetapi cantik, lemah lembut, dan baik hati. Kelebihan
inilah yang membuat sang pria jatuh hati.
Sang wanita hamil di luar nikah. Sang pria lalu mengajaknya menikah,
dengan membawa sang wanita ke rumahnya. Seperti yang sudah mereka duga,
orang tua sang pria tidak menyukai wanita tersebut. Sebagai orang yang
terpandang di kota tersebut, latar belakang wanita tersebut akan
merusak reputasi keluarga. Sebaliknya, mereka bahkan telah mencarikan
jodoh yang sepadan untuk anaknya. Sang pria berusaha menyakinkan orang
tuanya, bahwa ia sudah menetapkan keputusannya, apapun resikonya bagi
dia.
Sang wanita merasa tak berdaya, tetapi sang pria menyakinkan wanita
tersebut bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Sang pria terus
berargumen dengan orang tuanya, bahkan membantah perkataan orangtuanya,
sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama hidupnya (di zaman dulu,
umumnya seorang anak sangat tunduk pada orang tuanya).
Sebulan telah berlalu, sang pria gagal untuk membujuk orangtuanya agar
menerima calon istrinya. Sang orang tua juga stress karena gagal
membujuk anak satu-satunya, agar berpisah dengan wanita tersebut, yang
menurut mereka akan sangat merugikan masa depannya.
Sang pria akhirnya menetapkan pilihan untuk kawin lari. Ia memutuskan
untuk meninggalkan semuanya demi sang kekasih. Waktu keberangkatan pun
ditetapkan, tetapi rupanya rencana ini diketahui oleh orang tua sang
pria. Maka ketika saatnya tiba, sang orangtua mengunci anaknya di dalam
kamar dan dijaga ketat oleh para bawahan di rumahnya yang besar.
Sebagai gantinya, kedua orang tua datang ke tempat yang telah
ditentukan sepasang kekasih tersebut untuk melarikan diri. Sang wanita
sangat terkejut dengan kedatangan ayah dan ibu sang pria. Mereka
kemudian memohon pengertian dari sang wanita, agar meninggalkan anak
mereka satu-satunya. Menurut mereka, dengan perbedaan status sosial
yang sangat besar, perkawinan mereka hanya akan menjadi gunjingan
seluruh penduduk kota, reputasi anaknya akan tercemar, orang-orang
tidak akan menghormatinya lagi. Akibatnya, bisnis yang akan diwariskan
kepada anak mereka akan bangkrut secara perlahan-lahan.
Mereka bahkan memberikan uang dalam jumlah banyak, dengan permohonan
agar wanita tersebut meninggalkan kota ini, tidak bertemu dengan
anaknya lagi, dan menggugurkan kandungannya. Uang tersebut dapat
digunakan untuk membiayai hidupnya di tempat lain.
Sang wanita menangis tersedu-sedu. Dalam hati kecilnya, ia sadar bahwa
perbedaan status sosial yang sangat jauh, akan menimbulkan banyak
kesulitan bagi kekasihnya. Akhirnya, ia setuju untuk meninggalkan kota
ini, tetapi menolak untuk menerima uang tersebut. Ia mencintai sang
pria, bukan uangnya. Walaupun ia sepenuhnya sadar, jalan hidupnya ke
depan akan sangat sulit?.
Ibu sang pria kembali memohon kepada wanita tersebut untuk meninggalkan
sepucuk surat kepada mereka, yang menyatakan bahwa ia memilih berpisah
dengan sang pria. Ibu sang pria kuatir anaknya akan terus mencari
kekasihnya, dan tidak mau meneruskan usaha orang tuanya. “Walaupun ia
kelak bukan suamimu, bukankah Anda ingin melihatnya sebagai seseorang
yang berhasil? Ini adalah untuk kebaikan kalian berdua”, kata sang ibu.
Dengan berat hati, sang wanita menulis surat. Ia menjelaskan bahwa ia
sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan sang pria. Ia sadar bahwa
keberadaannya hanya akan merugikan sang pria. Ia minta maaf karena
telah melanggar janji setia mereka berdua, bahwa mereka akan selalu
bersama dalam menghadapi penolakan-penolakan akibat perbedaan status
sosial mereka. Ia tidak kuat lagi menahan penderitaan ini, dan
memutuskan untuk berpisah.
Tetesan air mata sang wanita tampak membasahi surat tersebut. Sang
wanita yang malang tersebut tampak tidak punya pilihan lain. Ia
terjebak antara moral dan cintanya. Sang wanita segera meninggalkan
kota itu, sendirian. Ia menuju sebuah desa yang lebih terpencil.
Disana, ia bertekad untuk melahirkan dan membesarkan anaknya.
Detik .. Menit …. Jam …. Hari …. Minggu ………Tahun …… Tak terasa Tiga
tahun telah berlalu. Ternyata wanita tersebut telah menjadi seorang
ibu. Anaknya seorang laki-laki. Sang ibu bekerja keras siang dan malam,
untuk membiayai kehidupan mereka. Di pagi dan siang hari, ia bekerja di
sebuah industri rumah tangga, malamnya, ia menyuci pakaian2 tetangga
dan menyulam sesuai dengan pesanan pelanggan. Kebanyakan ia melakukan
semua pekerjaan ini sambil menggendong anak di punggungnya. Walaupun ia
cukup berpendidikan, ia menyadari bahwa pekerjaan lain tidak
memungkinkan, karena ia harus berada di sisi anaknya setiap saat.
Tetapi sang ibu tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya. Di usia tiga
tahun, suatu saat, sang anak tiba-tiba sakit keras. Demamnya sangat
tinggi. Ia segera dibawa ke rumah sakit setempat. Anak tersebut harus
menginap di rumah sakit selama beberapa hari. Biaya pengobatan telah
menguras habis seluruh tabungan dari hasil kerja kerasnya selama ini,
dan itupun belum cukup. Ibu tersebut akhirnya juga meminjam ke
sana-sini, kepada siapapun yang bermurah hati untuk memberikan pinjaman.
Saat diperbolehkan pulang, sang dokter menyarankan untuk membuat sup
ramuan, untuk mempercepat kesembuhan putranya. Ramuan tersebut terdiri
dari obat-obatan herbal dan daging sapi untuk dikukus bersama. Tetapi
sang ibu hanya mampu membeli obat-obat herbal tersebut, ia tidak punya
uang sepeserpun lagi untuk membeli daging. Untuk meminjam lagi, rasanya
tak mungkin, karena ia telah berutang kepada semua orang yang ia kenal,
dan belum terbayar.
Ketika di rumah, sang ibu menangis. Ia tidak tahu harus berbuat apa,
untuk mendapatkan daging. Toko daging di desa tersebut telah menolak
permintaannya, untuk bayar di akhir bulan saat gajian. Diantara
tangisannya, ia tiba-tiba mendapatkan ide. Ia mencari alkohol yang ada
di rumahnya, sebilah pisau dapur, dan sepotong kain. Setelah pisau
dapur dibersihkan dengan alkohol, sang ibu nekad mengambil sekerat
daging dari pahanya. Agar tidak membangunkan anaknya yang sedang tidur,
ia mengikat mulutnya dengan sepotong kain. Darah berhamburan. Sang ibu
tengah berjuang mengambil dagingnya sendiri, sambil berusaha tidak
mengeluarkan suara kesakitan yang teramat sangat?..
Hujan lebatpun turun. Lebatnya hujan menyebabkan rintihan kesakitan
sang ibu tidak terdengar oleh para tetangga, terutama oleh anaknya
sendiri. Tampaknya langit juga tersentuh dengan pengorbanan yang sedang
dilakukan oleh sang ibu ………… .
Enam tahun telah berlalu, anaknya tumbuh menjadi seorang anak yang
tampan, cerdas, dan berbudi pekerti. Ia juga sangat sayang ibunya. Di
hari minggu, mereka sering pergi ke taman di desa tersebut, bermain
bersama, dan bersama-sama menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau”
(terjemahannya “Di Dunia ini, hanya ibu seorang yang baik”).
Sang anak juga sudah sekolah. Sang ibu sekarang bekerja sebagai penjaga
toko, karena ia sudah bisa meninggalkan anaknya di siang hari.
Hari-hari mereka lewatkan dengan kebersamaan, penuh kebahagiaan. Sang
anak terkadang memaksa ibunya, agar ia bisa membantu ibunya menyuci di
malam hari. Ia tahu ibunya masih menyuci di malam hari, karena perlu
tambahan biaya untuk sekolahnya. Ia memang seorang anak yang cerdas. Ia
juga tahu, bulan depan adalah hari ulang tahun ibunya. Ia berniat
membelikan sebuah jam tangan, yang sangat didambakan ibunya selama ini.
Ibunya pernah mencobanya di sebuah toko, tetapi segera menolak setelah
pemilik toko menyebutkan harganya. Jam tangan itu sederhana, tidak
terlalu mewah, tetapi bagi mereka, itu terlalu mahal. Masih banyak
keperluan lain yang perlu dibiayai.
Sang anak segera pergi ke toko tersebut, yang tidak jauh dari rumahnya.
Ia meminta kepada kakek pemilik toko agar menyimpan jam tangan
tersebut, karena ia akan membelinya bulan depan. “Apakah kamu punya
uang?” tanya sang pemilik toko. “Tidak sekarang, nanti saya akan
punya”, kata sang anak dengan serius.
Ternyata, bulan depan sang anak benar-benar muncul untuk membeli jam
tangan tersebut. Sang kakek juga terkejut, kiranya sang anak hanya
main-main. Ketika menyerahkan uangnya, sang kakek bertanya “Dari mana
kamu mendapatkan uang itu? Bukan mencuri kan?”. “Saya tidak mencuri,
kakek. Hari ini adalah hari ulang tahun ibuku. Saya biasanya naik becak
pulang pergi ke sekolah. Selama sebulan ini, saya berjalan kaki saat
pulang dari sekolah ke rumah, uang jajan dan uang becaknya saya simpan
untuk beli jam ini. Kakiku sakit, tapi ini semua untuk ibuku. O ya,
jangan beritahu ibuku tentang hal ini. Ia akan marah” kata sang anak.
Sang pemilik toko tampak kagum pada anak tersebut.
Seperti biasanya, sang ibu pulang dari kerja di sore hari. Sang anak
segera memberikan ucapan selamat pada ibu, dan menyerahkan jam tangan
tersebut. Sang ibu terkejut bercampur haru, ia bangga dengan anaknya.
Jam tangan ini memang adalah impiannya. Tetapi sang ibu tiba-tiba
tersadar, dari mana uang untuk membeli jam tersebut. Sang anak tutup
mulut, tidak mau menjawab.
“Apakah kamu mencuri, Nak?” Sang anak diam seribu bahasa, ia tidak
ingin ibu mengetahui bagaimana ia mengumpulkan uang tersebut. Setelah
ditanya berklai-kali tanpa jawaban, sang ibu menyimpulkan bahwa anaknya
telah mencuri. “Walaupun kita miskin, kita tidak boleh mencuri.
Bukankah ibu sudah mengajari kamu tentang hal ini?” kata sang ibu.
Lalu ibu mengambil rotan dan mulai memukul anaknya. Biarpun ibu sayang
pada anaknya, ia harus mendidik anaknya sejak kecil. Sang anak
menangis, sedangkan air mata sang ibu mengalir keluar. Hatinya begitu
perih, karena ia sedang memukul belahan hatinya. Tetapi ia harus
melakukannya, demi kebaikan anaknya. Suara tangisan sang anak terdengar
keluar. Para tetangga menuju ke rumah tersebut heran, dan kemudian
prihatin setelah mengetahui kejadiannya. “Ia sebenarnya anak yang
baik”, kata salah satu tetangganya.
Kebetulan sekali, sang pemilik toko sedang berkunjung ke rumah salah
satu tetangganya yang merupakan familinya. Ketika ia keluar melihat ke
rumah itu, ia segera mengenal anak itu. Ketika mengetahui persoalannya,
ia segera menghampiri ibu itu untuk menjelaskan. Tetapi tiba-tiba sang
anak berlari ke arah pemilik toko, memohon agar jangan menceritakan
yang sebenarnya pada ibunya.
“Nak, ketahuilah, anak yang baik tidak boleh berbohong, dan tidak boleh
menyembunyikan sesuatu dari ibunya”. Sang anak mengikuti nasehat kakek
itu. Maka kakek itu mulai menceritakan bagaimana sang anak tiba-tiba
muncul di tokonya sebulan yang lalu, memintanya untuk menyimpan jam
tangan tersebut, dan sebulan kemudian akan membelinya. Anak itu muncul
siang tadi di tokonya, katanya hari ini adalah hari ulang tahun ibunya.
Ia juga menceritakan bagaimana sang anak berjalan kaki dari sekolahnya
pulang ke rumah dan tidak jajan di sekolah selama sebulan ini, untuk
mengumpulkan uang membeli jam tangan kesukaan ibunya.
Tampak sang kakek meneteskan air mata saat selesai menjelaskan hal
tersebut, begitu pula dengan tetangganya. Sang ibu segera memeluk anak
kesayangannya, keduanya menangis dengan tersedu-sedu.”Maafkan saya,
Nak.”
“Tidak Bu, saya yang bersalah”
Sementara itu, ternyata ayah dari sang anak sudah menikah, tetapi
istrinya mandul. Mereka tidak punya anak. Sang orangtua sangat sedih
akan hal ini, karena tidak akan ada yang mewarisi usaha mereka kelak.
Ketika sang ibu dan anaknya berjalan-jalan ke kota, dalam sebuah
kesempatan, mereka bertemu dengan sang ayah dan istrinya. Sang ayah
baru menyadari bahwa sebenarnya ia sudah punya anak dari darah
dagingnya sendiri. Ia mengajak mereka berkunjung ke rumahnya, bersedia
menanggung semua biaya hidup mereka, tetapi sang ibu menolak. Kami bisa
hidup dengan baik tanpa bantuanmu.
Berita ini segera diketahui oleh orang tua sang pria. Mereka begitu
ingin melihat cucunya, tetapi sang ibu tidak mau mengizinkan.
Di pertengahan tahun, penyakit sang anak kembali kambuh. Dokter
mengatakan bahwa penyakit sang anak butuh operasi dan perawatan yang
konsisten. Kalau kambuh lagi, akan membahayakan jiwanya. Keuangan sang
ibu sudah agak membaik, dibandingkan sebelumnya. Tetapi biaya medis
tidaklah murah, ia tidak sanggup membiayainya. Sang ibu kembali
berpikir keras. Tetapi ia tidak menemukan solusi yang tepat.
Satu-satunya jalan keluar adalah menyerahkan anaknya kepada sang ayah,
karena sang ayahlah yang mampu membiayai perawatannya.
Maka di hari Minggu ini, sang ibu kembali mengajak anaknya berkeliling
kota, bermain-main di taman kesukaan mereka. Mereka gembira sekali,
menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau”, lagu kesayangan mereka.
Untuk sejenak, sang ibu melupakan semua penderitaannya, ia hanyut dalam
kegembiraan bersama sang anak. Sepulang ke rumah, ibu menjelaskan
keadaannya pada sang anak. Sang anak menolak untuk tinggal bersama
ayahnya, karena ia hanya ingin dengan ibu. “Tetapi ibu tidak mampu
membiayai perawatan kamu, Nak” kata ibu. “Tidak apa-apa Bu, saya tidak
perlu dirawat. Saya sudah sehat, bila bisa bersama-sama dengan ibu.
Bila sudah besar nanti, saya akan cari banyak uang untuk biaya
perawatan saya dan untuk ibu. Nanti, ibu tidak perlu bekerja lagi, Bu”,
kata sang anak. Tetapi ibu memaksa akan berkunjung ke rumah sang ayah
keesokan harinya. Penyakitnya memang bisa kambuh setiap saat.
Disana ia diperkenalkan dengan kakek dan neneknya. Keduanya sangat
senang melihat anak imut tersebut. Ketika ibunya hendak pulang, sang
anak meronta-ronta ingin ikut pulang dengan ibunya. Walaupun diberikan
mainan kesukaan sang anak, yang tidak pernah ia peroleh saat bersama
ibunya, sang anak menolak. “Saya ingin Ibu, saya tidak mau mainan itu”,
teriak sang anak dengan nada yang polos. Dengan hati sedih dan
menangis, sang ibu berkata “Nak, kamu harus dengar nasehat ibu.
Tinggallah di sini. Ayah, kakek dan nenek akan bermain bersamamu.”
“Tidak, aku tidak mau mereka. Saya hanya mau ibu, saya sayang ibu,
bukankah ibu juga sayang saya? Ibu sekarang tidak mau saya lagi”, sang
anak mulai menangis.
Bujukan demi bujukan ibunya untuk tinggal di rumah besar tersebut tidak
didengarkan anak kecil tersebut. Sang anak menangis tersedu-sedu “Kalau
ibu sayang padaku, bawalah saya pergi, Bu”. Sampai pada akhirnya,
ibunya memaksa dengan mengatakan “Benar, ibu tidak sayang kamu lagi.
Tinggallah disini”, ibunya segera lari keluar meninggalkan rumah
tersebut. Tampak anaknya meronta-ronta dengan ledakan tangis yang
memilukan.
Di rumah, sang ibu kembali meratapi nasibnya. Tangisannya begitu
menyayat hati, ia telah berpisah dengan anaknya. Ia tidak diperbolehkan
menjenguk anaknya, tetapi mereka berjanji akan merawat anaknya dengan
baik. Diantara isak tangisnya, ia tidak menemukan arti hidup ini lagi.
Ia telah kehilangan satu-satunyanya alasan untuk hidup, anaknya
tercinta.
Kemudian ibu yang malang itu mengambil pisau dapur untuk memotong urat
nadinya. Tetapi saat akan dilakukan, ia sadar bahwa anaknya mungkin
tidak akan diperlakukan dengan baik. Tidak, ia harus hidup untuk
mengetahui bahwa anaknya diperlakukan dengan baik. Segera, niat bunuh
diri itu dibatalkan, demi anaknya juga……….
Setahun berlalu. Sang ibu telah pindah ke tempat lain, mendapatkan
kerja yang lebih baik lagi. Sang anak telah sehat, walaupun tetap
menjalani perawatan medis secara rutin setiap bulan. Seperti biasa,
sang anak ingat akan hari ulang tahun ibunya. Uang pun dapat ia peroleh
dengan mudah, tanpa perlu bersusah payah mengumpulkannya. Maka, pada
hari tersebut, sepulang dari sekolah, ia tidak pulang ke rumah, ia
segera naik bus menuju ke desa tempat tinggal ibunya, yang memakan
waktu beberapa jam. Sang anak telah mempersiapkan setangkai bunga,
sepucuk surat yang menyatakan ia setiap hari merindukan ibu, sebuah
kartu ucapan selamat ulang tahun, dan nilai ujian yang sangat bagus. Ia
akan memberikan semuanya untuk ibu.
Sang anak berlari riang gembira melewati gang-gang kecil menuju
rumahnya. Tetapi ketika sampai di rumah, ia mendapati rumah ini telah
kosong. Tetangga mengatakan ibunya telah pindah, dan tidak ada yang
tahu kemana ibunya pergi. Sang anak tidak tahu harus berbuat apa, ia
duduk di depan rumah tersebut, menangis “Ibu benar-benar tidak
menginginkan saya lagi.”
Sementara itu, keluarga sang ayah begitu cemas, ketika sang anak sudah
terlambat pulang ke rumah selama lebih dari 3 jam. Guru sekolah
mengatakan semuanya sudah pulang. Semua tempat sudah dicari, tetapi
tidak ada kabar. Mereka panik. Sang ayah menelpon ibunya, yang juga
sangat terkejut. Polisi pun dihubungi untuk melaporkan anak hilang.
Ketika sang ibu sedang berpikir keras, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ia terlalu sibuk sampai
melupakannya. Anaknya mungkin pulang ke rumah. Maka sang ayah dan sang
ibu segera naik mobil menuju rumah tersebut. Sayangnya, mereka hanya
menemukan kartu ulang tahun, setangkai bunga, nilai ujian yang bagus,
dan sepucuk surat anaknya. Sang ibu tidak mampu menahan tangisannya,
saat membaca tulisan-tulisan imut anaknya dalam surat itu.
Hari mulai gelap. Mereka sibuk mencari di sekitar desa tersebut, tanpa
mendapatkan petunjuk apapun. Sang ibu semakin resah. Kemudian sang ibu
membakar dupa, berlutut di hadapan altar Dewi Kuan Im, sambil menangis
ia memohon agar bisa menemukan anaknya.
Seperti mendapat petunjuk, sang ibu tiba-tiba ingat bahwa ia dan
anaknya pernah pergi ke sebuah kuil Kuan Im di desa tersebut. Ibunya
pernah berkata, bahwa bila kamu memerlukan pertolongan, mohonlah kepada
Dewi Kuan Im yang welas asih. Dewi Kuan Im pasti akan menolongmu, jika
niat kamu baik. Ibunya memprediksikan bahwa anaknya mungkin pergi ke
kuil tersebut untuk memohon agar bisa bertemu dengan dirinya.
Benar saja, ternyata sang anak berada di sana. Tetapi ia pingsan,
demamnya tinggi sekali. Sang ayah segera menggendong anaknya untuk
dilarikan ke rumah sakit. Saat menuruni tangga kuil, sang ibu terjatuh
dari tangga, dan berguling-guling jatuh ke bawah……….
Sepuluh tahun sudah berlalu. Kini sang anak sudah memasuki bangku
kuliah. Ia sering beradu mulut dengan ayah, mengenai persoalan ibunya.
Sejak jatuh dari tangga, ibunya tidak pernah ditemukan. Sang anak telah
banyak menghabiskan uang untuk mencari ibunya kemana-mana, tetapi
hasilnya nihil.
Siang itu, seperti biasa sehabis kuliah, sang anak berjalan bersama
dengan teman wanitanya. Mereka tampak serasi. Saat melaju dengan mobil,
di persimpangan sebuah jalan, ia melihat seorang wanita tua yang sedang
mengemis. Ibu tersebut terlihat kumuh, dan tampak memakai tongkat. Ia
tidak pernah melihat wanita itu sebelumnya. Wajahnya kumal, dan ia
tampak berkomat-kamit. Di dorong rasa ingin tahu, ia menghentikan
mobilnya, dan turun bersama pacar untuk menghampiri pengemis tua itu.
Ternyata sang pengemis tua sambil mengacungkan kaleng kosong untuk
minta sedekah, ia berucap dengan lemah “Dimanakah anakku? Apakah kalian
melihat anakku?”. Sang anak merasa mengenal wanita tua itu. Tanpa
disadari, ia segera menyanyikan lagu “Shi Sang Ci You Mama Hau” dengan
suara perlahan, tak disangka sang pengemis tua ikut menyanyikannya
dengan suara lemah. Mereka berdua menyanyi bersama. Ia segera mengenal
suara ibunya yang selalu menyanyikan lagu tersebut saat ia kecil, sang
anak segera memeluk pengemis tua itu dan berteriak dengan haru “Ibu?
Ini saya ibu”.
Sang pengemis tua itu terkejut, ia meraba-raba muka sang anak, lalu
bertanya, “Apakah kamu ??..(nama anak itu)?” “Benar bu, saya adalah
anak ibu?”. Keduanya pun berpelukan dengan erat, air mata keduanya
berbaur membasahi bumi …………… .
Karena jatuh dari tangga, sang ibu yang terbentur kepalanya menjadi
hilang ingatan, tetapi ia setiap hari selama sepuluh tahun terus
mencari anaknya, tanpa peduli dengan keadaaan dirinya. Sebagian orang
menganggapnya sebagai orang gila.
Perenungkan untuk kita renungkan bersama-sama:
Dalam kondisi kritis, Ibu kita akan melakukan apa saja demi kita. Ibu
bahkan rela mengorbankan nyawanya.. Simaklah penggalan doa keputusasaan
berikut ini, di saat Ibu masih muda, ataupun disaat Ibu sudah tua :
1. Anakku masih kecil, masa depannya masih panjang. Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya.
2. Aku sudah tua, Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya.
Diantara orang-orang disekeliling Anda, yang Anda kenal, Saudara/I
kandung Anda, diantara lebih dari 6 Milyar manusia, siapakah yang rela
mengorbankan nyawanya untuk Anda, kapan pun, dimana pun, dengan cara
apapun ………..
Tidak diragukan lagi “Ibu kita adalah Orang Yang Paling Mulia di dunia
ini”. Ingin bergabung dalam sebuah MISI MULIA ? Ada 2 tindakan yang
dapat Anda lakukan :
1. Bila Anda beruntung (Ibu Anda masih ada di dunia ini), ajaklah ia
untuk keluar makan atau jalan-jalan MALAM INI JUGA. Jangan ditunda2.
Bila Ibu Anda tinggal di tempat yang terpisah jauh dengan Anda,
telponlah dia malam ini juga, just to say “hello”. Catatlah hari ulang
tahunnya, rayakan, dan bahagiakanlah dia semampu Anda. Hidangkan
makanan favoritnya, dan seterusnya.
2. Kirimkan kisah film ini kepada saudara/i Anda, teman2 Anda, maupun
rekan-rekan kerja Anda (minimal 5, kalau 100 org lebih baik lagi). Bagi
sebagian dari mereka, kisah ini mungkin akan seperti setetes embun yang
menyegarkan jiwa mereka, yang terkadang terlalu sibuk dengan
aktivitasnya sendiri. Anda sungguh berjasa dalam hal ini??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar