Dua Bata Jelek (Ajahn Brahm)

SELAMA beberapa hari ini saya selalu terngiang-ngiang dengan kisah yang dituturkan seorang biksu, Ajahn Brahm. Sedemikian menyentuhnya kisah itu hingga membuat saya berpikir selama beberapa hari. Dalam buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya, ia bercerita tentang sebuah tembok bata yang disusunnya. Ia menyusun dengan amat rapi 100 batu bata, namun ia sempat lengah tatkala ada dua buah bata yang posisinya miring.


Setiap Brahm melihat tembok itu, ia akan sakit hati saat menyadari dua bata yang miring itu. Selama tiga bulan, ia didera rasa bersalah atas dua bata miring itu hingga beberapa kali ia ingin menghancurkan tembok. Hingga suatu hari, ada seseorang yang memuji tembok tersebut. Brahm tersentak. “Apa Anda tidak lihat ada dua bata yang miring” tanya Brahm. Seseorang itu hanya tersenyum, lalu menjawab, “Ya, saya bisa melihat 2 bata yang jelek, namun saya juga melihat 998 batu bata yang bagus posisinya.”


Brahm tertegun. Untuk pertamakalinya ia menyaksikan 998 batu bata lain yang sempurna. Ternyata, selama ini ia hanya focus melihat dua bata tersebut, dan mengabaikan batu bata yang lain. Selama ini ia kesal setiap melihat tembok itu. Ternyata ada seseorang yang menyentak kesadarannya dan mengatakan bahwa tembok itu menjadi sangat indah, justru karena ada dua bata yang tidak sempurna.


Hikmah yang saya petik dari kisah ini adalah kebanyakan kita hanya focus pada sesuatu yang jelek-jelek saja. Kita jadi mudah depresi karena selalu berkutat dengan ketidaksempurnaan atau kesalahan yang pernah kita lakukan. “Kita hanya focus pada kekeliruan yang pernah kita buat. Semua yang kita lihat adalah kesalahan. Padahal, ada jauh lebih banyak kebaikan pada diri kita. Jika kita bisa mengingat semua kebaikan itu dan berdamai dengan kesalahan, maka kita akan menikmati hidup dengan indah,” kata Brahm.


Selama beberapa hari, saya merenungi kalimat Brahm. Ini adalah soal cara memandang sesuatu. Kita menamakannya perspektif. Banyak di antara kita yang selalu melihat dari perspektif yang negatif atas diri kita sendiri. Makanya banyak di antara kita yang hidup dalam nestapa. Banyak di antara kita yang hidup dalam kesedihan. Kita selalu khawatir. Kita mudah ketakutan atas sesuatu yang kita ciptakan dalam pikiran kita.


Padahal, dengan cara mengubah perspektif, kita lebih bisa menikmati hidup dalam setiap inchi tarikan napas kita. Kita lebih bisa menikmati hidup yang sedang kita jalani, tanpa harus didera rasa bersalah. Mungkin ada baiknya kita belajar pada mereka-mereka yang lepas dari rasa bersalah yang berlebihan. Mereka-mereka yang menikmati hidup sebagai anugrah yang indah.

Tidak ada komentar: