Kerajaan Kosambi waktu itu diperintah oleh Raja Udena dengan permaisurinya Ratu Samavati.
Ratu Samavati mempunyai 500 orang pengiring yang tinggal bersamanya di istana. Ia juga mempunyai pelayan kepercayaan, Khujjuttara, yang setiap harinya bertugas untuk membeli bunga.
Suatu hari terlihat Khujjuttara sedang menanti tukang bunga langganannya, Sumana. Tetapi yang dinantinya tak kunjung datang, sedang hari semakin siang. Bergegas ia ke rumah Sumana dengan maksud untuk membelinya di sana. Setibanya di sana, Sumana kelihatannya sedang repot menjamu tamu-tamunya, yaitu para bhikkhu. Dengan menggerutu terpaksa Khujjuttara menunggu sampai perjamuan itu selesai.
Selesai perjamuan, Khujjuttara melihat seorang bhikkhu yang berwajah cerah dan agung mulai berkhotbah. Para bhikkhu lainnya, Sumana, dan kerabatnya, tampak mengelilinginya dan mendengarkan dengan tekun dan penuh perhatian.
"Aduh, bisa-bisa aku kena marah kalau pulang nanti", keluh Khujjattara. "Apa boleh buat, terpaksa aku harus menunggu lagi", keluhnya. "Ah, daripada menganggur dan mengantuk, apa salahnya aku juga ikut mendengarkan. Aku ingin tahu, apa yang dikhotbahkan, sehingga semuanya mendengarkan dengan khidmat dan tidak mempedulikan kehadiranku!" katanya dalam hati.
Mula-mula Khujjuttara hanya setengah-setengah mendengarkan. Tetapi, makin lama perhatiannya makin tertarik, dan akhirnya malahan mendengarkan dengan tekun dan penuh perhatian.
Tak heran, karena pengkhotbah itu adalah Sang Buddha sendiri.
baru kali itu mempunyai kesempatan untuk mendengarkan khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha. Walaupun demikian, karena akibat kamma masa lampaunya, mata batinnya mulai terbuka. Apa yang dikhotbahkan dapat dipahaminya dengan benar dan sekaligus ia berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Pulang ke istana ia telah ditunggu oleh Samavati dengan muka cemberut. "Kemana saja dan apa pula kerjamu sehingga sesiang ini baru pulang? Dan mana bunga yang seharusnya kau beli?" tegur Samavati.
Setelah meminta maaf, Khujjattara menceriterakan apa yang barusan dialaminya. Samavati tertarik mendengar pengalaman Khujjatara dan memintanya agar sore nanti mengulangi khotbah yang tadi didengarnya.
Sore itu, Khujjatara mengulang khotbah Sang Buddha kepada Samavati dan 500 orang pengiringnya. Sama halnya seperti Khujjatara, Samavati beserta pengiringnya pada akhir khotbah juga mencapai kesucian sotapatti.
"Oh, Khujjatara, engkau beruntung sekali bisa mendengarkan khotbah yang seindah itu. Berkat engkau, aku beserta yang lain-lainnya juga ikut menikmati keberuntungan itu!" kata Samavati.
"Atas jasa-jasamu, engkau kuangkat sebagai ibu angkat dan guruku!" lanjutnya. "Mulai hari ini engkau kubebaskan dari segala kewajibanmu yang lain. Sayang, aku tak dapat keluar istana. Maka untuk selanjutnya engkau berkewajiban untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha dan kemudian mengulangnya untuk didengar oleh semuanya".
Demikianlah, Khujjattara selalu mengikuti kemana Sang Buddha berkhotbah dan kemudian mengulangnya di hadapan Samavati beserta para pengiringnya. Dalam waktu singkat Khujjattara berhasil memahami Dhamma yang diajarkan Sang Buddha dengan baik.
Lama kelamaan Samavati dan pengiringnya sangat berharap dapat melihat Sang Buddha dan ingin sekali memberi penghormatan kepada Beliau. Tetapi mereka takut jika raja tidak berkenan. Dicarilah akal, bagaimana caranya agar mereka bisa melaksanakan maksudnya. Salah satu pengiring Samavati menemukan cara, dengan membuat lubang-lubang pada dinding-dinding di dekitar istana. Melalui lubang itu mereka dapat melihat keluar dan memberi penghormatan kepada Sang Buddha setiap hari, saat Beliau akan mengunjungi rumah tiga orang hartawan, bernama Ghosaka, Kukkuta dan Pavariya.
Pada waktu Raja Udena memerintah, ada seorang brahmana mempunyai putri yang sangat cantik, Magandiya namanya. Karena kecantikan putrinya, ia selalu memilih-milih calon suami anaknya. Dan selama itu dirasanya belum ada yang tepat untuk mendampingi anaknya.
Suatu hari brahmin itu bertemu muka dengan Sang Buddha. Ia sangat terpesona melihatnya dan berpikir bahwa inilah satu-satunya orang yang pantas untuk menjadi suami putrinya yang sangat cantik. Dicarinya tahu di mana Sang Buddha berdiam, kemudian bersama dengan istri dan putrinya ia ke sana dan meminta kepada Sang Buddha agar mau menerima putrinya sebagai istri.
Sang Buddha terdiam sejenak. Dengan kekuatan supranatural-Nya diselidikilah brahmin anak beranak itu. Beliau melihat bahwa brahmin itu dengan istrinya mempunyai kesempatan yang sangat besar untuk mencapai kesucian anagami.
Dengan tersenyum Beliau menjawab, "Setelah melihat Tanha, Arati dan Raga, putri-putri Mara, Aku tidak lagi mempunyai keinginan seksual; semuanya hanya berisikan kotoran dan air kencing dan aku tidak ingin menyentuh walaupun dengan ujung kakiku sekalipun".
Mendengar kata-kata Sang Buddha, brahmin itu dan istrinya terkejut. Mereka kemudian merenung, mengapa permintaan baik-baik mereka dijawab seperti itu? Akhirnya mata batin mereka berdua terbuka, dan mereka menjadi paham dengan arti jawaban tadi. Keduanya langsung mencapai tingkat kesucian anagami magga dan phala.
Sepulangnya, mereka berdua segera berunding. Berdua mereka ingin menjauhi kehidupan duniawi dan bergabung dengan murid-murid Sang Buddha. Mereka juga bersetuju untuk menyerahkan perawatan putri mereka kepada saudara mereka. Kelak, karena ketekunannya mereka berdua berhasil mencapai tingkat kesucian arahat.
Alkisah, putri Magandiya yang juga mendengar jawaban Sang Buddha seperti tadi merasa sangat terhina dan tersinggung. Apalagi setelah ayah bundanya akhirnya mengikuti Sang Buddha dan menyerahkan perawatan dirinya kepada pamannya.
"Wahai Samana Gotama, setelah aku kau hina, kau rebut pula kedua orang tuaku. Sungguh keterlaluan sikapmu padaku!" demikian kata hati putri Magandiya. "Awas! Tunggulah pembalasanku! Kemana saja engkau pergi, pasti akan kucari dan kubalas penghinaanmu padaku! Sebelum dendamku terbalas, aku tidak akan berhenti!" ancamnya dalam hati.
Alkisah, beberapa waktu kemudian pamannya menyerahkan Magandiya kepada Raja Udena. Karena Magandiya memang cantik jelita, rajapun menerimanya sebagai salah satu istrinya.
Suatu ketika Magandiya mendengar kedatangan Sang Buddha di Kosambi dan bagaimana Samavati dan pengiringnya memberi penghormatan kepada Beliau melalui lubang-lubang di sekitar istana.
"Inilah waktunya untuk membalas dendam!" pikirnya.
Matanya berbinar-binar kegirangan. Segera Magandiya merencanakan cara untuk membalas dendam kepada Sang Buddha dan mencelakakan Samavati beserta pengiring yang sangat mengagumi Sang Buddha.
Paginya, Magandiya segera menghadap raja.
"Baginda, Samavati ingin berkhianat. Ia bersama pengiringnya telah membuat lubang-lubang di dinding istana agar dapat berhubungan dengan orang luar. Mungkin pula mereka telah mengatur pemberontakan!" katanya memanas-manasi raja.
Raja terkejut mendengar laporan itu. Ia segera turun ke lapangan untuk melihat sendiri kebenarannya. Benar! Banyak lubang dibuat pada dinding istana. Dengan marah raja segera memanggil Samavati.
"Samavati, tak kusangka bahwa engkau sampai hati benar ingin berkhianat kepadaku!"
Samavati melenggak keheranan, "Baginda, mengapa Baginda sampai hati menuduh demikian?"
"Untuk apa kau buat banyak lubang pada dinding istana? Bukankah untuk memudahkan berhubungan dengan orang luar dan mengatur pemberontakan?"
"Ampun Baginda", jawab Samavati. "Tiada setitikpun terbit ingatan untuk memberontak pada diri hamba. Bahwa selama ini hamba sangat berterima kasih dapat hidup tanpa kekurangan suatu apapun di istana ini".
"Lalu, untuk apa kau buat lubang-lubang itu?"
Samavati segera menceriterakan semuanya dengan bersungguh-sungguh. Raja dapat diyakinkan, sehingga tidak menarik panjang urusan itu.
Melihat usahanya untuk mengenyahkan Samavati tidak berhasil, Magandiya bertambah marah, tetapi ia tidak putus asa. Ia tetap berusaha mencari jalan untuk membuat raja percaya bahwa Samavati tidak setia kepada raja dan telah berusaha untuk membunuhnya.
Suatu hari, Magandiya mendengar bahwa raja akan mengunjungi Samavati dalam beberapa hari mendatang dan akan membawa kecapinya. Magandiya memasukkan seekor ular ke dalam kecapi tersebut dan menutupinya dengan seikat bunga.
Magandiya mengikuti Raja Udena ke tempat tinggal Samavati. Di perjalanan ia selalu mencoba mengurungkan niat raja karena dia merasa tidak percaya kepada Samavati dan mengkhawatirkan keselamatan raja. Tetapi raja tidak menghiraukannya. Sampai di kediaman Samavati, tatkala tiada orang, Magandiya mencabut seikat bunga dari lubang kecapinya. Ular itu keluar dan melingkar di atas tempat tidur. Ketika raja hendak mengambil kecapinya dan melihat ular itu, baru beliau mempercayai kata-kata Magandiya bahwa Samavati berusaha untuk membunuhnya.
Raja sangat marah. Beliau memerintahkan Samavati untuk berdiri, dengan semua pengiringnya berbaris di belakangnya.
"Pengawal, ambil busur dan anak panahku!" teriak raja.
Tetapi Samavati dan pengiringnya tak gentar. Mereka semua tetap berdiri sambil memancarkan cinta kasih kepada raja.
Raja menarik busurnya dengan anak panah yang telah dilumuri racun. Samavati dibidiknya baik-baik, dan kemudian anak panah dilepaskan.
Dengan suara berdesir anak panah itu melaju secepat kilat mendekati sasarannya, Samavati. Semua yang melihat menahan nafasnya.
Ajaib, begitu akan menyentuh Samavati anak panah itu kelihatan seolah-olah terpental, menyeleweng arahnya, melewati Samavati dan para pengiringnya, dan akhirnya menghunjam ke dinding di belakangnya.
Raja semakin murka, dikiranya bidikannya meleset. Sekali lagi raja menarik busurnya dan Samavati dibidiknya dengan lebih hati-hati.
Sekali lagi anak panah itu seolah-olah mengenai perisai yang keras, menyeleweng arahnya dan menghunjam lagi ke dinding.
Lagi, dan lagi raja berusaha membidik Samavati maupun pengiringnya, tetapi kejadian seperti tadi tetap berulang lagi.
Raja tercenung memikirkan kejadian yang baru dialaminya. Seolah-olah Samavati dan pengiringnya ada yang melindungi. Dan kalau benar demikian, niscaya Samavati tidak bersalah. Maka kemarahannya mereda. Bahkan pada akhirnya ia memberi ijin kepada Samavati untuk mengundang Sang Buddha dan murid-muridnya ke istana untuk menerima dana makanan dan untuk menyampaikan khotbah.
Magandiya menyadari bahwa tidak satupun dari rencananya terlaksana.
"Kalau Baginda tak mampu membunuh Samavati, maka aku sendiri yang akan turun tangan membunuhnya!" pikirnya.
Oleh karenanya ia membuat rencana akhir, rencana yang sempurna. Magandiya mengirimkan suatu pesan kepada pamannya dengan petunjuk-petunjuk lengkap untuk pergi ke istana Samavati dan membakar istananya bersamaan dengan semua orang yang ada di dalamnya.
Ketika istana tersebut terbakar, Samavati dan pengiringnya, yang berjumlah 500 orang, tetap bermeditasi. Kemudian, beberapa dari mereka mencapai tingkat kesucian sakadagami dan yang lain berhasil mencapai tingkat kesucian anagami.
Berita kebakaran tersebut segera menyebar, raja segera pergi ke tempat kejadian, tetapi beliau terlambat. Beliau mencurigai bahwa hal ini dilakukan oleh Magandiya, tetapi raja tidak menunjukkan kecurigaannya.
Untuk mengetahui hal yang sebenarnya, beliau berkata, "Ketika Samavati masih hidup, saya selalu khawatir kalau-kalau dia akan mencelakan saya. Sekarang, pikiranku lebih tenang. Siapa yang telah melakukan ini semua? Hal ini pasti hanya dilakukan oleh seseorang yang sangat mencintaiku".
Mendengar kata-kata itu, Magandiya segera mengakui bahwa dia yang telah memerintahkan pamannya untuk melakukan hal itu semua. Untuk hal itu, raja sangat puas dan mengatakan bahwa beliau akan memberikan penghargaan pada Magandiya dan seluruh keluarganya. Kemudian, seluruh keluarga Magandiya diundang ke istana untuk menghadiri perjamuan.
Magandiya, pamannya, dan seluruh kerabatnya datang ke istana dengan gembira.
Setelah mereka berkumpul semua, raja segera berdiri dan berteriak. "Hei, para pengawal, tangkap mereka semua!"
Setelah semuanya ditangkap raja segera memerintahkan, "Masukkan mereka semuanya ke dalam istana Magandiya. Jangan sampai ada yang lolos. Kemudian bakar seluruh istana itu, seperti apa yang telah mereka lakukan terhadap Samavati!"
Ketika Sang Buddha mendengar dua kejadian tersebut, Belliau mengatakan bahwa seseorang yang waspada tidak akan mati; tetapi mereka yang lengah akan merasa mati meskipun dia masih hidup.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 21, 22 dan 23 berikut ini:
Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan; kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak akan mati, tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati.
Setelah mengerti hal ini dengan jelas, orang bijaksana akan bergembira dalam kewaspadaan dan bergembira dalam praktek para ariya.
Orang bijaksana yang tekun bersamadhi, hidup bersemangat dan selalu berusaha dengan sungguh-sungguh, pada akhirnya mencapai nibbana (kebebasan mutlak).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar